![]() |
Sumber gambar: dream.co.id |
"Loh, katanya di artikel sebelumnya gaji itu adalah tiang bekerja?"
Memang betul. Kalau bekerja, namanya dapet gaji itu wajib, fadhu'ain, kudu, must. Tapi, maksud saya gaji bukan segalanya adalah bahwa gaji bukanlah satu-satunya parameter yang harus dipertimbangkan dalam bekerja. Seperti contoh pada artikel saya itu, saya menjelaskan kalau pada akhirnya kita akan menurunkan toleransi ekspektasi gaji kita dari yang sebelumnya hanya mengincar Above dan Around sampai akhirnya mulai berani menyasar yang Below.
Sebuah Pilihan
Cerita saya sendiri dimulai tahun lalu, tepatnya sekitar bulan Juli 2019. Saat itu, saya posisinya masih pegawai kontrak di perusahaan tempat saya bekerja sekarang. Kontrak tersebut akan habis pada bulan September 2019 dan saat itu saya belum mendapat konfirmasi apapun terkait kelanjutan status saya setelahnya. Daripada menunggu yang nggak pasti, akhirnya saya pun mencoba untuk menyelamatkan diri dengan mencari beberapa peluang lain di luar.
Setelah proses sana sini, akhirnya sekitar bulan Agustus 2019 saya mendapat konfirmasi kalau saya diterima di sebuah perusahan ed-tech di Jakarta. Luar biasanya, tanpa meminta slip gaji dari tempat sekarang, perusahaan tersebut langsung memberikan saya penawaran dengan kenaikan 50% dari tempat saya masih bekerja. Amazing!
Dari situ, saya mendapat pemahaman mengenai berapa nilai pasar posisi tersebut dengan skill dan pengalaman yang saya miliki saat itu. Saya cukup kaget, karena biasanya di tempat lain, pasti diminta slip gaji dan biasanya itu jadi bottleneck untuk mendapatkan kenaikan yang signifikan. Sebenarnya saya masih tidak mengerti, apakah pada dasarnya perusahaan lain itu memang tidak memiliki standar gaji atau bagaimana sampai menjadikan gaji kandidat sebelumnya sebagai patokan. Ya kan kalo udah ada standarnya, mau range bawahnya itu ternyata 70% lebih besar dari gaji kandidat sebelumnya ya kenapa nggak toh? Kan masuk range perusahaan juga, kenapa gaji kandidat sebelumnya harus jadi patokan?
Kembali ke laptop...
Mendapat penawaran seperti itu, jelas saya girang bukan main. Tidak menunggu lama, akhirnya saya pun menghubungi HR tempat saya bekerja untuk memberitahukan situasinya. HR saya pun memaklumi kondisi saya yang akan segera habis kontrak dan meminta saya untuk menunggu karena akan diskusi dulu dengan manajemen. Saya pun akhirnya memberitahu calon employer bahwa saya perlu pertimbangan dan akan memberitahukan keputusannya pada hari Jumat (penawaran itu masuk pada hari Seninnya).
Pada hari Kamis, saya pun dipanggil oleh HR, Lead, dan Manajemen. Dalam diskusi tersebut, Lead memberitahu saya hasil penilaian saya selama 1 tahun dan manajemen pun memberitahukan bahwa saya diberikan promosi menjadi karyawan permanen dengan kenaikan pendapatan sebesar 31,25%, cukup jauh di bawah tawaran yang saya terima dari pihak luar.
Kalian semua tahu hasil akhirnya. Dalam kondisi 50% melawan 31,25%, saat ini saya masih bekerja di perusahaan yang sama yang artinya pemenangnya adalah 31,25% tersebut.
Kenapa yang menang yang 31,25%?
Ada beberapa parameter lain yang saya pertimbangkan selain nominal gaji itu sendiri, yang untuk saya merupakan hal dasar, yaitu Status, Cuti, Medical, Environment, dan Needs.
Status:
Di tempat baru, saya akan mengulang dengan mekanisme satu tahun kontrak kemudian permanen, sebuah mekanisme yang rasanya cukup jamak di zaman sekarang ketimbang permanen dengan 3 bulan probasi. Di tempat lama, penawaran yang diajukan adalah promosi menjadi karyawan permanen, yang artinya perusahaan tidak bisa secara sepihak melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa kompensasi yang diatur undang-undang.
Cuti:
Di tempat baru, saya akan mendapat cuti 6 hari untuk masa setahun kontrak. Sedangkan di tempat sekarang, saya langsung mendapat cuti 12 hari karena status yang juga sudah menjadi permanen. Cuti ini penting untuk saya karena menjadi metode refresh ketika sedang mengalami overload terkait pekerjaan.
Medical:
Di tempat baru mekanismenya masih reimburse, sedangkan di tempat lama dijanjikan akan mulai ada pengadaan untuk private insurance dengan mekanisme cashless. Jelas sekali, saya bukan tipe yang suka mengeluarkan modal untuk sesuatu yang seharusnya ditanggung perusahaan. Teman saya pernah berkata, "Selama masih bekerja, jangan sampe lo ngeluarin sepeserpun buat biaya kesehatan."
Environment:
Jika menerima tawaran 31,25% itu, saya ada keuntungan lain yaitu saya tidak perlu beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orangnya. Sedangkan untuk 50%, tentu saya perlu beradaptasi dulu.
Needs:
Ini yang paling penting. Saya itu orangnya sederhana. Untuk saya, yang penting pendapatan reguler tiap bulan mampu menutupi fixed cost dan kebutuhan ad hoc lainnya. Setelah perhitungan, 31,25% masih mampu menutupi fixed cost dan kebutuhan ad hoc saya saat itu, sehingga saya tidak memiliki urgensi untuk mengejar pendapatan yang lebih besar. Akhirnya, poin ini lah yang berhasil membuat saya bulat untuk memenangkan si 31,25% itu tadi.
Covid-19
Belum ada setahun dari keputusan saya saat itu, tiba-tiba muncul sebuah fenomena global yang merusak tatanan dunia: Covid-19. Perusahaan saya sendiri pun tidak aman. Sampai tulisan ini dibuat, aliran kas masih berantakan dan saya masih harus mencoba bertahan dengan mekanisme pendapatan ala freelance.
Apakah saya menyesal tidak mengambil tawaran yang 50%? Apalagi perusahaan yang memberikan penawaran adalah perusahaan yang justru terdampak positif dari pandemi ini?
Tidak juga. Saya bukan tipe yang suka menyesali sesuatu yang sudah berlalu, karena hal tersebut tidak akan mengubah apapun. Saya masih bersyukur atas keputusan yang saya ambil saat itu, masih bisa bersama tim dan orang-orang yang baik, suasana kerja yang baik, dan pekerjaan yang baik. Sambat memang tidak bisa dihindari, karena apa yang biasa saya catat di kolom Debit setiap tanggal 25 menjadi harus saya catat di kolom Kredit.
---000---
Begitu lah yang bisa saya share. Gaji memang penting, tapi jangan lupa dilihat sekitarnya ya. Apakah kamu tipe yang siap menjual jiwa dengan materi, seperti jokes yang sering saya dengar dari teman-teman yang bekerja di Big Four, atau kamu tipe yang memilih keseimbangan.
Kalau kamu bagaimana? Apakah gaji memiliki porsi pertimbangan yang cukup besar atau berimbang? Yuk share di kolom komentar!
Comments
Post a Comment